Minggu, 02 Agustus 2015

Review buku : Playing to Win



Jika berpikir bahwa bermain game itu buang-buang waktu, sudah saatnya membuang pikiran itu. Tahun 2008, ada 3 industri besar yang tumbuh begitu kuat di Jepang, pertama Toyota, perusahaan otomotif, kedua Bank Matshushita dan yang terakhir: Nintendo. Masih ingat yang terakhir ini? Begitu jayanya di era 90’an dengan Mario Bros-nya, tukang pipa dari Italia, yang setiap harinya melawan jamur dan mahkluk aneh dari dalam tanah. Benar-benar game yang aneh, tapi keanehan ini seperti virus yang menyebar di dunia pada masa itu.
Ini poin penting dari buku Daniel Sloan yang bericara soal hal remeh-temeh tadi; video games, yang nilainya menakjubkan. Bisnis yang berangkat dari kegerahan manusia menghadapi situasi keseharian, berpetualang tanpa harus beranjak dari tempat dan waktu yang tersedia. Permainan sekejab yang asyik. Buku ini hasil riset mendalam Sloan mengenai jatuh bangunnya industri hiburan di Jepang, yang saya baca: industri kreatif . Video games tidak melulu menghibur saja (yang hasil akhirnya memang benar-benar rmenghibur pemakainya), tapi video games merupakan hasil proses kreatif teknologi, seni dan ketajaman pemasaran global.

Apa menariknya hasil riset ini?
1.     Bagaimana Nintendo bersaing dengan merek lain, misalnya dengan Atari & Sega (yang akhirnya bisa bangkrut), yg jelas2 dengan seri Wii-nya jauh2 pergi dari kompetisi dengan Xbox & PlayStation.
2.     Masih berhubungan dengan di atas, inovasi adalah faktor utama industri. Inovasi ini bukan berarti hanya teknologi, tapi distribusi, desain & yang terpenting: harga bersaing dengan konsol yang lain. 

Saya pikir saya akan dapat banyak hiburan ketika membaca buku ini. Tapi Sloan menawarkan sebaliknya: berlimpahnya data & analisis yang padat soal bisnis Nintendo ini. Menakjubkan!

Menariknya, ketika googling soal bisnis Nintendo di tahun 2013 di CNN, ada artikel singkat soal lesunya bisnis konsol ini di awal Maret 2013, dari target US 4  million penjualan global, hanya mencapai US 3.45 million global saja.


Pertanda buruk untuk Nintendo? Saya kira Sloan perlu melanjutkan buku ini, ketika ramalan lesunya bisnis video games makin nyata tahun-tahun ke depan.

Murahnya Air Asia

Saya selalu penasaran, bagaimana murahnya Air Asia. Bandingkan dengan harga maskapai lain, mereka mempunyai selisih Rp 200.000-250.000.

“Itu karena promonya!” kata kawan. Benar, ketika promo konsumen memilih mengambil resiko duluan di depan, itu patut dihargai kata Seth Godin. Apa cuma itu?

Mencoba servisnya, adalah cara paling baik menerka lebih tepat. Saya pun mencoba ke rute Bali. Pertama tiket memesan sendiri via onlen, tiket langsung ke end user, tanpa perantara. Komisi 0% untuk Air Asia, tapi ada biaya yang perlu ditanggung, yaitu sistem IT yg ampuh dan promosi yang gencar.  Bayangkan ribuan orang online bersamaan, perlu bandwith gede tuh, sekaligus sistem yang kokoh untuk mengantisipasi pembeli dari seluruh dunia!


Lalu, bagaimana konsumen tahu Air Asia. Nah, ini ahlinya mereka. Nampaknya segmen maskapai ini londo dari Eropa sana, maka tak ragu CEO Tony Fernandez memasang iklan di klub IPL Sunderland, asal tempat para londo ini berkumpul, dan tempat destinasi para londo ini ditempel pernak pernik logo Air Asia. Bandara C Soetta dipenuhi logo merah-putih Air Asia, iklan di televisi, sampai payung untuk berjemur di Pantai Seminyak.

Apakah cuma ini membuat mereka menjadi murah?
Saya bukan ahli penerbangan, tapi menurut situs Yahoo begini jawabannya (http://uk.answers.yahoo.com/question/index?qid=20110319153303AANTBzq)
1.     Mereka memakai Aircraft A320, 330 dan 340 dengan biaya servis rendah, tipikal sama memudahkan para teknisi untuk mereparasi banyak bagian pesawat dengan cepat dan ringkas. Jangan katakan soal peralatan mereka, ketika bagian yang dikerjakan sama, artinya investasi alat servisnya pun akan sama bukan?
2.     Mereka meniadakan fuel sucrchage, yaitu biaya tambahan yang dikenakan maskapai kepada konsumen, berbalik dengan maskapai lain (koreksi bila saya salah)
3.     Online check in mempercepat antrian penumpang. Saya melihat, walaupun sudah memakai sistem begini, sering kewalahan ketika menghadapi banyak penumpang dengan bagasi yang banyak (Air Asia juga bisa mendapat tambahan uang dengan menjual bagasi 15kg & 20kg). Bagi penumpang dengan bagasi di bawah 5kg, bisa langsung melenggang ke ruang tunggu, lalu mengantri pergi ke landasan dengan memperlihatkan ID. Ini soal hitungan waktu, ketika berlama-lama di konter untuk mengurus tiket & ID, Air Asia membalik prosesnya. Terbukti, tidak sampai 30 menit, penumpang sudah bisa menaiki tangga pesawat.

Mungkin teknis soal penerbangan lainnya, seperti pilihan rute, desain kursi, dll yang tidak saya pahami betul, tapi signifikan untuk menurunkan harga. Beberapa faktor turun, lalu beberapa faktor lain naik, kombinasinya bisa menurunkan harga, yang laris manis dijual!

Selamat datang penerbangan murah, everyone can fly now!

Soal menulis

Kenapa menulis?

Konon, hidup manusia tidak dapat dilepaskan dari menulis. Apapun itu, misalnya proposal, materi presentasi, puisi cinta, sms, bikin UUD 45, status fesbuk, semua butuh tulisan yang dipahami. Meminta orang memahami lewat tulisan kita, itu yang gampang-gampang susah; gampangnya ketika menulis jadi darah daging kita, susahnya ketika menulis jadi momok keseharian. Jelas akibatnya, ketika diserahi undangan rapat RT pun menciut “saya tidak bisa bikin undangan!”.

Saya pertama belajar menulis, mungkin SMP, saya tidak begitu ingat. Yang jelas, saat itu, ingatan saya payah sekali. Setengah jam diterangin, paham akan sistem & cara kerjanya, lalu sejam kemudian lupa. Demikian itu berulang-ulang, bikin gemas guru dan kawan sekelas. Bisa ditebak, nilai ulangan pun anjlok dan jadi bahan olok-olok sekelas. Payah bukan?
Orang bilang, gampang mencerna, gampang juga lupa. Analogi yang lucu, karena yang mencerna itu otak, lalu apakah otak semacam alat pencernaan?  

Lantas, solusinya bagaimana?
Disadari atau tidak, saya mulai mencatat. Coret-coretan yang mungkin saya sendiri yang tahu; menarik garis, membuat bagan, memberi kode, memisahkan atu bahan dengan bahan yang lain; teman saya bilang tulisan ceker ayam, tidak bisa dibaca kecuali oleh empunya tulisan, ah lagi-lagi analogi, kalau tulisan seperti ceker, lalu ayamnya siapa ?

Dari situ, saya menggantungkan diri dengan catatan. Semua hal ada disana, baik dari jadwal pelajaran, keuangan, pemecahan soal fisika, coretan ide bahkan makin bertambah kompleks ketika dewasa. Jadilah saya kemana-mana bawa buku. Nampaknya tak berguna, tapi sangat membantu saya untuk mengingat banyak hal, sampai sedeteail-detailnya, lalu bisa dibuka lagi jika saya sudah lupa esok harinya!

Bagaimana kamu bisa menulis?